Bambu runcing pejuang

 "KISAH ROMO AGUNG KH. MUHAMMAD SIRADJ PAYAMAN MAGELANG "


KH. Muhammad Siradj atau yang kerap disapa dengan panggilan KH. Siroj Payaman atau KH. Anwari Sirajd lahir pada tahun 1878 M di desa Payaman Magelang.


Silsilah nasab dari jalur ibu, nasab KH. Muhammad Siradj sampai pada Joko Tingkir.


KH. Muhammad Siradj menjalani pendidikannya di Kota Mekkah bersama Mbah Dalhar, pendiri sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Watucongol, Gunungpring, Muntilan, Magelang dan KH. Hasyim Asy’ari pendiri Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang.


Pada tahun 1947, KH. Muhammad Siradj mendirikan Pondok Pesantren Kidul di Dusun Karang Geneng, Payaman. Setelah berjalan cukup lama, akhirnya pada tahun 1957, Pondok Pesantren Kidul dipindah ke samping Masjid Agung Payaman. Pemindahan tersebut dimaksudkan agar lebih dekat dengan rumah beliau. 


KH. Muhammad Siradj merupakan salah satu sosok Kiai yang memiliki banyak karomah, diantaranya, saat berjuang melawan kolonial Belanda, beliau adalah kiai yang kebal terhadap senjata. 


Selain itu, beliau juga diberikan karomah dapat mencegah bencana letusan dan erupsi Gunung Merapi.


Berkat karomahnya menghalau erupsi, beliau diberikan gelar kehormatan Romo Agung oleh Belanda,


KH. Mafatikhul Huda, salah seorang cicit Almarhum KH. Anwari Sirajd menuturkan bahwa;


Belanda berikan Gelar Romo Agung dulu saat Merapi meletus. Belanda ingin halau lahar, minta doa ke Mbah Siraj, doanya kabul tidak terjang Kota Magelang. Sehingga kejadian itu dikaitkan dengan rutinitas pembacaan Kitab Bukhori Sokhi yang dikenal dengan pengajian Sema’an Bukhoren membaca kitab Bukhori yang setiap Ramadan satu bulan penuh digelar di Masjid Agung, alun-alun Kota Magelang sampai sekarang. 


Menurut beliau keampuhan ilmu karomah yang dimiliki beliau terbukti saat terjadi agresi militer Belanda pertama. Saat itu Masjid Agung Payaman diserang Belanda pada tahun 1948 dengan membabi buta. 


Belanda selalu mencari sosok KH. Sirajd yang dikenal sebagai pimpinan para santri pejuang.


Pencarian dilakukan mulai masjid sampai di beberapa kampung di Payaman, Magelang. 


Namun, hanya pohon-pohon sekitar yang terbakar karena KH. Sirajd dan santri yang sempat bersembunyi di bawah masjid berhasil melarikan diri ke Desa Canden yang jaraknya 10 kilometer dari Masjid Agung Payaman, Magelang.


Kemudian, sebelum Serangan Umum pada 1 Maret 1949, para santri dibekali oleh bambu runcing sebelum melakukan penyerangan ke Ambarawa. KH. Subkhi pendiri Ponpes Bambu Runcing, Parakan, Temanggung yang saat itu masih menjadi santri Mbah Sirajd diperintahkan mencari bambu sebanyak-banyaknya dan diruncingkan untuk menjadi senjata melawan Belanda dalam Serangan Umum 1 Maret.


Saat itu Mbah Sirajd memberikan bambu-bambu itu dengan doa-doa dan membawa kemenangan meski tentara Belanda memiliki senjata lengkap dan otomatis. 


KH. Subkhi kemudian memberi nama pondok pesantren yang didirikannya dengan nama Ponpes Bambu Runcing, Parakan, Temanggung, Jawa Tengah yang masih berdiri kokoh dan eksis sampai sekarang. 


Kini, di Ambarawa berdiri kokoh sebuah monumen sebagai simbol agresi militer dengan nama Museum Palagan Ambarawa, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.


Pada masa penjajahan, hanya KH. Siraj yang diberikan kebebasan oleh Belanda untuk berdakwah ke berbagai daerah. Hal itu karena Belanda merasa segan dengan Karomah dan kesaktian yang dimiliki KH. Siraj.


Imam Masjid Agung Payaman yang juga sesepuh sekaligus cucu dari KH. Siraj, Muhammad Tibyan menuturkan juga bahwa Romo KH. Siraj orang yang membawa Payaman ini dari jahiliyah menjadi madaniah. Dan setelah Belanda kalah, maka mulai digelarlah tradisi syawalan, atau dikenal bodo kupat, sejak 1950-an.


Kiai Siroj, Payaman, Magelang yang oleh masyarakat masyhur dengan panggilan Romo Agung merupakan orang yang dikenal kewaliannya.


Namun, di balik keramat yang beliau miliki, ada ibadah yang sangat kuat, di luar kebiasaan orang pada umumnya.  


Satu ketika, Kiai Siroj berkunjung ke rumah salah satu temannya, KH Dardiri dari Tingkir, Kota Salatiga. 


Waktu itu, desa ini masih mengikuti wilayah Kabupaten Semarang. Di rumah Kiai Dardiri ini, selain Kiai Siroj, Payaman, ada Kiai Munajat yang turut hadir di sana. 


Ketiga kiai yang berkumpul dalam satu majelis tersebut mempunyai hubungan yang akrab. Sesaat sebelum melaksanakan shalat Isya', Kiai Siroj tahu bahwa tuan rumah sedang memasak, mempersiapkan jamuan. Diperkirakan, nanti jamuan akan disajikan setelah shalat Isya' dilaksanakan sehingga pas.  


Usai shalat isya', Kiai Siroj ternyata tidak lekas beranjak dari tempat sujudnya. Ia tidak hanya shalat beberapa rakaat ba'diyah atau shalat witir. Ia menyambung dengan shalat-shalat sunah. 


Dua kiai lain, Kiai Dardiri dan Kiai Munajat hanya menunggu sambil berbincang bersama di luar. Pukul 02.00 dini hari, Kiai Siroj baru selesai melaksanakan shalat-shalatnya. 


Beliau bertanya kepada tuan rumah;

"Lha, masakannya apa sudah matang?" 


Sangat tampak, Kiai Siroj seperti orang yang baru melaksanakan shalat lima atau sepuluh menit. 


Tidak heran jika ia bertanya masakannya sudah matang apa belum. Padahal, dua kawannya yang lain sudah menunggu berjam-berjam. Oleh Kiai Siroj dikira baru beberapa menit.  


Karena Kiai Siroj sudah mencapai maqam kelezatan dalam beribadah, mencapai ekstase tinggi, shalat yang begitu lama dikira baru sebentar saja. 


Tidak cukup di situ. 

Untuk membuktikan kewalian dan kedekatannya kepada Allah dan jauhnya hati dengan dunia, Kiai Dardiri mencoba berbisik kepada Kiai Munajat. 


"Mbah, anda ingin membuktikan nggak bagaimana cara membedakan wali atau tidak?" tanya Kiai Dardiri.  


Sejurus, Kiai Munajat menjawab;

lIya." 


Habis itu, Kiai Dardiri tanya langsung kepada Kiai Siroj tadi.  

"Mbah, wedangnya sudah manis apa belum?" 


Kiai Siroj tidak lekas menjawab. Padahal ia baru beberapa detik yang lalu meminumnya. 

Kiai Siroj mengambil gelas, diminum, seketika itu, gelas masih dalam genggaman, Kiai Siroj baru menjawab;

"Oh ya, sudah manis"    


Artinya, Kiai Siroj, dalam urusan dunia seperti manisnya gula, selang beberapa detik saja sudah terlupakan. Ia tidak ingat lagi. Karena hatinya penuh dengan ingat Allah. Semua benda dunia tidak mendapat tempat di hatinya. 


Sebaliknya, shalat yang berjam-jam, oleh Kiai Siroj, dikira baru beberapa menit. 


Jadi, di luar keramat yang dikenal masyarakat luas kala itu, ada dzikir dan ibadah yang  perlu kita teladani. 


Kita tidak boleh hanya takjub dengan keramatnya, namun abai terhadap amalan di balik keramat yang tampak pada seorang wali. 


Cerita tersebut juga memberikan visualisasi, bagaimana Baginda Nabi Muhammad shallahu alaihi wa sallam dulu sampai bisa shalat 100 rakaat dalam semalam. 


Ya, bagaimanapun kalau landasannya adalah cinta yang mendominasi, yang berat terasa ringan.  


Kerja di sawah, menjadi tukang becak, tukang bangunan atau apa saja, rata-rata susah payah secara fisik. 


Namun  karena dilandasi cinta, tidak begitu terasa. Capeknya adalah nikmat. Seperti pengantin baru yang dicubit pasangannya, sesakit apa pun, ia tidak memandang itu sakit, tapi nikmat karena dilandasi cinta yang kuat.  


Demikian orang yang cinta kepada Allah, capeknya shalat tidak terasa.


Wallahu a'lam. 


πŸ™πŸΌπŸ€πŸ™πŸΌ

Komentar

Postingan Populer